Aku tak pernah membayangkan apa yang kurasakan ketika jiwa terlepas dari raga. Selamanya. Aku percaya Tuhan menggenggam jiwa-jiwa kita untuk sementara ketika tidur, dan berkuasa penuh atasnya. Rasanya menyenangkan karena Dia menghadiahi kita mimpi. Tapi apakah rasanya seperti itu juga ketika Dia menarik seluruh jiwa kita selamanya? Karena aku merasa ini seperti mimpi. Mataku silau dan ada sesuatu bergerak di ujung kakiku.
Hah?
Yang benar saja.
Mbak...mbak..? MBAK!
Sejenak Pipit berpikir, suara siapakah?
Ia mengalihkan matanya yang silau, melihat seseorang duduk di depannya, kakinya menyentuh sepatu pipit.
Ya ampuuunnn...aku masih di lift yang tadi, aku belum mati, aku cuma terjebak, dan orang tadi memastikanku masih hidup dengan menendang-nendang kakiku!
Astaga! Pipit ngomel dalam hati tapi ia menghela nafas lega.
Sambil bergerak perlahan memastikan tak ada yang rusak dengan badannya, Pipit mulai merasa lengannya berdenyut-denyut nyeri, mungkin karena sedikit benturan.
Melihat membenahi posisi duduk Pipit, orang itu bergumam tak jelas. Tapi Pipit melihat dahinya berdarah.
Refleks Pipit bertanya, anda tak apa2?
Lelaki itu cuma menggeleng. Matanya sibuk mencari sesuatu.
Emm, lihat ponsel saya?
Pipit menyingkirkan kertas-kertas yang bertebaran di sekitarnya.
Ya Tuhan, arsip itu! Berantakan tak jelas.
Ia temukan ponsel lelaki itu di pojok kanan tertindih map file. Cepat ia rapikan semampunya kertas-kertas itu.
Liftnya rusak. Apa sering seperti ini? Pria itu bertanya pada Pipit lalu ia cuma menggeleng, dan berdiri memastikan tak ada satu kertas pun yang tertinggal.
Maaf, ujarnya ketika mengambil kertas, ada yang terselip di tas lelaki itu.
Anda kerja di sini? Pipit mengangguk, matanya pusing melihat halaman arsip yang tak ia mengerti.
Apa harus kuurutkan sekarang?
Apa ada seseorang yang bisa dihubungi?
Saya rasa kita terjebak, kata lelaki itu.
Ya saya tahu, tapi saya juga harus menyerahkan arsip ini sekarang, tapi, apa? Bukannya udah nyala ya? Pipit menekan-nekan tombol membuka, tak bergeming. Layarnya hanya berkedip-kedip. Mana ponsel dan tas ditinggal di loby.
Aha, bisa telfon no saya? Pipit menengok padanya.
Dia menyerahkan ponselnya, Pipit menekan nomornya dengan cepat.
Ah sial, ngga ada sinyal, gumamnya.
Ada apa dengan hari ini? Tengah malam masih di kantor dan terjebak di lift pula.
Apa interkomnya masih bisa menyala? Pipit melirik ke arah pintu lagi. Benar juga.
Aduh siapa yang jaga malam ini? Kutekan,, suara gemerisik di seberang, halo,,halooo,, bapakkk tolong dong,, lift mati nih.
Tak ada respon.
Pria didepannya terdengar menghela nafas panjang.
Sepertinya kita harus menunggu, lalu dia mulai duduk di pojok depan lift.
Pipit berdecak, melirik arlojinya. 11.47. sudah 15 menit dan tak ada tanda-tanda pertolongan. Akhirnya ia ikut duduk, mengutak atik ponsel yang masih ia pegang, berharap sinyal muncul tiba-tiba.
10 menit kemudian Pipit mulai berdiri tak sabar.
Tolong, emergency,,, lift mati,,kita ga bisa keluar, to...
YA, SIAPA?? Suara diseberang terdengar familiar.
Mas agus yah? Satpam lantai 10 asal kebumen itu kenal dengannya.
Yah?
Alhamdulillah mas agusss,,Ni pipit!tolong doonggg, liftnya mati
Mba pit marketing?
Iyaaahhh,,,
Aduhh iya mbak, tenang dulu, sabarr. Mbak pit sama siapa? Ndak apa-apa kan? Ada yang cedera ndak? Suaranya terdengar cemas.
Iya alhamdulillah ga papa, ini ada dua orang di lift. Tamu laki-laki. Pipit baru sadar lelaki itu menenakan tanda visitor.
Oh Syukurlah, tapi sabar ya mbak, saya di ruang monitor ini, petugasnya lagi pada di bawah, lagi banyak polisi.
Polisi? Cepet banget datengnya, tumben.
Emang ada apa? Semua lift rusak? Pipit setengah berteriak sambil bertanya
Engg, nganu itu...pak brama yang di lantai 20 meninggal mbak,
Innalillahi,,,Pipit kaget, karena pria tadi sudah berdiri di sebelahnya menggumam kata yang sama dengannya.
Trus ko ada polisi juga? Lift lain rusak juga emang?
Bukan mbak, itu,,,
Pak bramanya jatuh ke bawah
HAAHHH??
(...bersambung)